Melihat dan Mendengarkan Makanan 1
Menyaksikan Tradisi Gaib
Tsunami informasi selalu menjanjikan kemudahan untuk mengetahui banyak hal. Namun sebanyak apapun hal yang bisa kita ketahui dengan mudahnya itu, selalu ada hal yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Yaitu hal gaib atau yang tidak kita ketahui. Bahkan dengan sangat mudah sekali, kita bisa mengerti bahwa tentang suatu hal, kita memang tidak tahu atau hanya sedikit mengetahui.
Sehingga sebanyak apapun hal yang bisa dimengerti atau dipahami, pastinya lebih banyak lagi kegaiban yang harus diakui. Sebab di dalam kehidupan ini, selalu saja ada yang tersembunyi. Selalu ada yang masih menjadi misteri.
Maka menjalani kehidupan di tengah "bencana informasi" layaknya tsunami, tetap harus disyukuri.
Minimal untuk paru-paru yang masih mau menerima nafas kita. Atau jantung yang masih berdetak dengan sendirinya. Atau sel-sel otak kita yang masih memroses informasi. Atau organ-organ pencerna makanan yang masih menjaga tradisi mengurusi nutrisi.
Sudah sepatutnya, kita memang tidak bisa menghindari tsunami informasi. Namun sepertinya, bencana yang sesungguhnya bukan terletak pada gelombang informasinya, melainkan dampak atau akibat dari informasi--yang secara khusus "diproduksi" oleh si penerima informasi itu sendiri.
Mari kita telusuri. Secara etimologi, informasi berasal dari bahasa Perancis kuno: "informacion"--diambil dari bahasa Latin; "informationem" yang berarti garis besar, konsep atau ide. Di dalam informasi, selalu memuat adanya pengetahuan, penerangan atau penjelasan, petunjuk, atau pemberitahuan seperti kabar atau berita tentang sesuatu. Tercakup sekali kebenaran atau tidak benar, bermutu atau tidak mutu, butuh atau tidak dibutuhkan, juga berguna atau tiada guna.
Ya, sebenarnya sangat mudah dipahami bahwa informasi adalah "masukan". Sehingga keliru jika sisi di balik informasi disebut atau dinamakan dengan "bukan informasi". Sehingga sedemikian rupa sebuah mata uang, jika satu sisi adalah "masukan" maka sisi lain atau sebaliknya adalah "keluaran".
Maka jika ada tsunami input pastinya ada tsunami output. Pertanyaannya adalah, masuk ke mana dan keluar dari mana?. Jika begitu adanya maka proses itu akan bermula dari adanya informasi (masukan/input) yang masuk ke dalam tubuh si penerima informasi (pabrik/tempat produksi) untuk diolah sedemikian rupa hingga menjadi produk (output/keluaran) hasil produksi.
Lantas siapa penerima informasi itu? Ialah mereka yang menjalani kehidupan di tengah tsunami informasi. Sebutan paling akrab untuk mereka adalah kita.
Secara alamiah, sesuatu yang masuk--sebut saja sebagai bahan, akan berbeda dengan sesuatu yang keluar atau produk yang dihasilkan. Perbedaan itu, sudah barang tentu sesuai dengan bagaimana proses produksi atau tradisi pengolahan bahan yang ada di dalam tubuh kita.
Selanjutnya adalah tradisi. Tradisi atau kebiasaan berasal dari bahasa Latin "Traditio", yang berarti diteruskan. Atau "Tradere" yang bermakna mentransmisikan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan. Sehingga tradisi adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Secara umum, juga dikenal sebagai suatu bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno.
Sekarang mari kita merapat untuk sekadar mengintip saja, bagaimana tradisi pengolahan bahan berlangsung di dalam tubuh kita. Sedikitnya terdapat tiga tradisi yang tetap lestari di dalam tubuh ini. Yakni peredaran darah, syaraf dan pencernaan makanan.
Tiga tradisi tersebut, bukan hanya sudah berlaku berulang-ulang sejak kita dilahirkan, namun jauh sebelum itu, di dalam tubuh orang-orang terdahulu. Bahkan tradisi tersebut juga merupakan bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno. Bisa saja lebih kuno dari sejarah manusia itu sendiri.
Tradisi yang paling nyata adalah pencernaan makanan. Selain bahan juga produknya yang kasat mata dan nyata, beberapa proses produksinya juga terasa. Namun tetap saja lebih banyak kegaibannya.
Berasal dari rangkuman informasi usai menilik Wikipedia secara online, makan adalah suatu kegiatan mengonsumsi makanan atau minuman, proses memasukkan makanan ke dalam mulut serta mengunyah dan menelan. Memakan juga cara untuk mendapatkan asupan gizi, menyediakan sumber energi, memenuhi kebutuhan nutrisi maupun kesehatan yang dibutuhkan oleh tubuh.
Memakan juga bisa berarti menyerang, mematikan, memakai atau menghabiskan. Misalnya seperti: makan teman, makan uang atau makan waktu. Oleh karena itu memakan, sebenarnya bukan hanya perbuatan yang dikenakan kepada benda/obyek yang dimakan, melainkan--sekaligus atas sifat dan kandungan dari obyek yang dimakan tersebut.
Sebagai kesimpulan kecil, makan adalah kegiatan yang menjadikan makanan dan sifat serta kandungannya masuk ke dalam tubuh si pemakan. Dengan demikian makanan, bisa berupa apa saja yang berada di luar tubuh si pemakan.
Sebagai sebuah peristiwa, makan, merupakan rangkaian dari adanya sebab makan, saat makan dan akibat makan. Penyebab makan, bisa apa saja yang menjadi alasan untuk masuknya makanan. Sedangkan saat dan akibat makan adalah peristiwa masuk sampai makanan berada di dalam tubuh si pemakan, untuk--digunakan atau dibuang.
Peristiwa "saat dan akibat" tersebut, terbagi dalam tiga runtutan, yakni proses masuk, olah dan keluar. Setiap proses atau tahap ini, berlangsung di wilayah yang berbeda; dengan ruang-waktu, alat/properti serta tradisi yang berbeda pula. Proses masuk berada di wilayah pintu masuk, proses olah di wilayah pengolahan dan proses keluar di wilayah pintu keluar.
Sebut saja tubuh si pemakan itu adalah manusia. Sehingga makanan adalah segala hal yang berada di luar diri atau lingkungan manusia. Sebab makan adalah alasan untuk memasukkan makanan. Pintu masuk adalah organ-organ penghubung lingkungan luar dan dalam tubuh. Sedangkan pengolahan, berlangsung di sejumlah organ dalam, termasuk pintu keluar yang merupakan ujung dari organ terakhir dalam sistem pencernaan makanan manusia.
Pintu masuk makanan yang dimiliki manusia adalah alat indranya, yakni hidung, kulit, mulut, mata dan telinga. Lewat-situ-lah, berbagai jenis makanan masuk ke dalam tubuh manusia. Selain itu, tentu masih ada pintu yang selalu terbuka pada tubuh manusia, setertutup apapun dirinya. Seperti placenta pada bayi di dalam kandungan, juga jarum terapi intravena untuk pasien dalam perawatan medis. Kedua jalan itu juga menjadi pintu masuk untuk makanan.
Sebagai wilayah pertama yang dilewati makanan, pintu masuk memiliki tradisi mencerna. Setiap pintu masuk juga memiliki kategori makanannya masing-masing. Namun juga memiliki sifat selalu terbuka atau toleran. Sehingga sangat mungkin terjadi adanya "pemaksaan" kepada setiap pintu masuk makanan. Mereka harus mau menerima sesuatu yang sebenarnya bukan untuk dirinya--namun turut serta menanggung dosa.
Karena dia menjadi jalan untuk masuknya makanan, yang akhirnya membuat tubuh itu menderita dan sakit-sakitan. Sebut saja uang rakyat, hak manusia atau makhluk hidup lain adalah makanan.
Terkadang, pemaksaan juga harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai kebutuhan tubuh si pemakan, sehingga menjadi bahagia karena makanannya menyehatkan. Oleh karena itu, adanya kategori makanan sesuai pintu masuk, seharusnya jelas menunjukkan bahwa selalu ada kesempatan untuk memilih makanan. Juga mengatur supaya sesuai dengan kebutuhan.
Namun urusan pilih-memilih itu juga sangat terbuka, misalnya untuk improvisasi, memilih yang tidak tepat atau sengaja tidak sesuai -- "yang penting makanannya kan bisa masuk". Bisa juga memilih untuk "yang penting pintunya benar" namun "mbuh", apakah terhadap suatu makanan, tubuh itu butuh atau tidak butuh-- "yang penting kan kemasukan makanan".
Atau memilih untuk tidak memilih dan tidak membuat pilihan apapun, yang bisa menjadi alasan untuk makan. Walaupun akhirnya sah juga, dan terbukti terjadi kegiatan makan karena "didulang". Sah itu memang mudah. Berkah, itu yang kadang susah.
Kembali ke pintu masuk. Saat berada di wilayah pertama itulah, sebut saja mulut, makanan mengalami pencernaan kasar. Ia mengalami banyak benturan hingga wujud awalnya berubah, menjadi keping-keping atau remahan. Di sana, si pemakan masih punya pilihan, "jadi atau tidak jadi makan", menelan atau memuntahkan.
Sebab setelah melewati pintu masuk atau tertelan, makanan+sifat+kandungannya, akan mengalami proses selanjutnya. Yakni perjalanan menuju wilayah pengolahan atau muara. Perjalanan ini melewati organ kerongkongan. Bagi makanan, perjalanan melewati saluran sempit dan gelap yang memanjang dari leher sampai ke tengah badan, tentu mustahil dilakukan-- sedangkan dia juga sudah berbentuk keping dan remahan.
Menggunakan kemampuannya sendiri jelas tidak masuk akal. Maka sebenarnya, makanan bukan berjalan untuk menempuh perjalanan, melainkan diperjalankan. Karena kerongkongan itu sendiri yang akan membawa makanan menuju muara bernama lambung. Hanya bermodal "anteng" dan "manut", otot-otot di dalam kerongkongan itu akan bergerak dengan sendirinya, mendorong makanan hingga sampai ke lambung dengan aman.
Pada tahap ini, pilihan "jadi atau tidak jadi makan", tidak berlaku lagi. Karena wilayah pengolahan ini memiliki aturan sendiri dalam bentuk berbagai tradisi. Seperti tradisi "selalu menerima". Sehingga bagaimanapun keadaannya, apapun jenis makanan, apa saja kandungan nutrisi dan sifat bawaannya, akan selalu diterima. Dan diolah sesuai tradisi, yang akan menjadikan makanan memiliki bentuknya yang baru.
Tradisi ini dikelola oleh lambung yang akan kembali memecah makanan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil meskipun sudah dihancurkan oleh mulut di wilayah sebelumnya. Di lambung, makanan akan memiliki bentuk yang baru yaitu setengah padat.
Selanjutnya juga ada tradisi "pegat" atau memisahkan. Tradisi ini ditujukan untuk membiasakan setiap makanan bahwa pada saatnya, mereka akan saling terpisah, bahkan dengan bagian dari diri mereka sendiri. Tradisi ini dijaga oleh usus halus, dibantu pankreas, hati dan kantong empedu.
Pada bagian inilah, makanan akan dipilah sehingga jelas terpisah. Bagian yang berguna sebagai nutrisi dan tidak berguna sebagai sisa. Nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral, kemudian menempuh jalannya sendiri-sendiri. Mereka menyebar ke seluruh tubuh untuk menunaikan tugasnya masing-masing. Seperti mendukung pertumbuhan tubuh, menjaga energi, mencegah atau melawan penyakit hingga menjaga kesehatan pikiran, perasaan dan kejiwaan.
Sementara "sisa tradisi" atau bagian yang tidak berguna, akan diserahkan kepada organ usus besar. Di wilayah ini juga terdapat tradisi. Yakni "selalu melihat kebaikannya" atau mencari manfaat pada sesuatu yang bahkan sudah dicap tidak berguna atau tidak dapat dicerna lagi oleh tradisi sebelumnya. Seperti menyerap air atau vitamin dan elektrolit yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, tradisi ini sebenarnya adalah penyempurna--sehingga sempurnalah ia sebagai sisa.
Di ujung usus besar itulah letak pintu keluar. Wilayah pintu keluar sebenarnya masih menjadi bagian dari wilayah pengolahan. Oleh karena itu, wilayah ini juga memiliki tradisi, yakni “ngopeni” atau merawat. Tradisi ini dijaga oleh Rektum yang dikenal bijaksana. Sebab selalu menampung sesuatu yang jelas merupakan sisa yang sempurna. Bahkan menyediakan diri untuk digunakan layaknya transit atau tempat tinggal sementara. Di sana, para sampah atau kotoran selalu diberikan pengertian bahwa, tidak akan ada lagi pilihan, kecuali menunggu giliran. "This is life, enjoy your party." Begitulah kira-kira.
Karena saat kapasitas "tempat singgah" itu penuh, Rektum akan mengirimkan tanda kepada otak--sehingga tubuh si pemakan bisa mempersiapkan diri. Sembari para penghuni penginapan juga dipersiapkan untuk berangkat menuju pintu keluar.
Oleh karena itu, pintu keluar bernama Anus adalah bagian yang paling tulus. Lihatlah betapa ia hanya memiliki tugas yang tampak sederhana. Sebut saja hanya dilewati kotoran bernama penghuni penginapan. Namun dia adalah simbol ketaqwaan. Karena di dalam menggenggam ketaatannya, dia tidak punya kepentingan atas dirinya sendiri. Semata-mata yang dia lakukan hanyalah mengurusi kebutuhan dari apa yang diurusi. Bukan mengurusi yang diurusi.
Sebagai pintu terakhir, Anus tidak akan begitu saja membuka dirinya meskipun penghuni penginapan sudah datang. Bahkan, dia juga membantu rombongan yang kesulitan berjalan sehingga semuanya dapat berkumpul di depan pintu gerbang.
Layaknya para demonstran dari dalam, yang bahkan telah melakukan dorongan dan tekanan untuk segera ke luar. Anus akan tetap berusaha untuk menahan, menutup rapat -- sekeras dan selicik apapun cara-cara yang dilakukan para demonstran. Bahkan jika dirinya harus terluka. Berbagai upaya akan dilakukan supaya penghuni penginapan yang telah berubah menjadi para demonstran tadi, tidak ada yang menerobos ke luar sebelum waktunya.
Dengan integritasnya, Anus akan terus mengencangkan ototnya, berusaha sampai si pemilik tubuh selesai dengan persiapannya. Sebagai penjaga tradisi, Anus juga memiliki batas kemampuannya. Sekuat apapun dia berusaha menjaga, pasti akan lepas juga. Jika ternyata si pemilik tubuh tidak memiliki kesadaran atau hilang akal, atau memang kesadarannya yang belum mapan.
Namun memang begitulah si Anus. Dari berbagai wujud makanan yang beraneka indahnya di luar tubuh manusia, dia tetap bertemu dengan keindahan sisa. Yang diperas menjadi sisa sempurna. Yang berkumpul menjadi para penghuni penginapan. Bahkan jika ada luka, imbas dari "ngeyelnya" para kelompok demonstran atau si pemilik tubuh yang kesadarannya belum mapan, tugas Anus tetap dilaksanakan.
Ketulusan Anus yang lain adalah penerimaan. Sebagai penghubung dunia dalam dan luar tubuh, Anus tetap setia dan rela berada di tempatnya. Bahkan ketika dia ditindas dan dilecehkan, yaitu saat fungsinya sebagai pintu keluar, disalahgunakan. Namun sebagai bagian dari sistem pencernaan makanan manusia, Anus mengetahui kebenarannya.
Adanya sesuatu yang tidak dapat dicerna lagi atau tidak ditemukan lagi kebaikan di dalamnya adalah bukti, bahwa pasti, ada sesuatu yang sebelumnya telah dicerna dan penuh kebaikan di dalamnya. Mereka adalah makanan, yang berasal dari luar diri manusia. Maka pintu keluar adalah sebuah ketetapan. Menjadi jalan adalah cara mengabdi. Merawat tradisi untuk selalu kembali.
Gandrung Sastra, Ahad 04082024
Komentar
Posting Komentar