Perjalanan setetes air adalah perjalanan kehidupan seorang hamba.
Setiap "Ya Salam" selalu lahir dari kerinduan
Halaman Pesantren dan Rumah Kebudayaan Suraukami tampak temaram. Sekira pukul 21.21 WIB, lampu-lampu penerangan dimatikan.
Sumber cahaya hanya berasal dari lilin-lilin yang dinyalakan mengelilingi halaman pesantren, di Jalan Tusam Raya Nomor 26 Pedalangan Banyumanik Kota Semarang tersebut. Suasana memang dibiarkan tenang.
Tak lama berselang, para penikmat Kentrung Mbarang Jantur sudah berdatangan. Ada yang langsung memilih tempat duduk, ada yang berjalan-jalan sebentar, perlahan-lahan menikmati lingkungan.
Sebagian dari mereka ada yang mengisi kursi tamu. Ada yang duduk lesehan di atas rumput sintetis dan juga karpet berwarna hijau.
Sambil merenung, menikmati makanan ringan, perhatian mereka tertuju pada sebuah teras rumah berdinding putih dengan pintunya yang terbuka lebar.
Sebuah kursi sofa bundar ditata tepat di tengah teras. Kursi bermotif bunga itu
diapit dua buah microphone.
Di samping kanannya, segelas teh tersaji di atas meja kecil beralas kain putih. Di meja itu juga, Kentrung bertuliskan Kaligrafi Surat Al Ikhlas bersandar.
Sementara di depan sofa, sebanyak delapan buah, buah kelapa hijau yang telah dipotong ujungnya, ditata dengan formasi setengah lingkaran.
Di dalam masing-masing buah kelapa itu, dinyalakan lilin. Pada teras berlantai merah itu juga terdapat sejumlah daun-daun hijau yang disebar di antara buah kelapa.
Penataan cahayanya tidak terang dan tidak redup. Tiga lampion dan dua sangkar burung menggantung di langit-langit teras. Tampak jelas namun tidak mencolok.
Demikian juga sebuah ruang di dalam rumah yang tertutup tirai kain putih tipis. Transparan. Sehingga dari halaman, tampak samar-samar sebuah lukisan pada dindingnya. Berbentuk lingkaran spiral bernuansa hijau. Sebuah lukisan mural itu adalah potongan ayat Al Qur'an Surat Al Fajr Ayat 27 - 30. Yang artinya kurang lebih:
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan ataa ridho-Nya, maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku."
Tidak antara lama, lagu-lagu sholawat oleh Grup Hadroh Al Guys mulai mengalun. Serasa turut menyelimuti suasana. Sementara di dalam hati para penikmat seperti dilingkupi sebuah elegi, untuk menyambut Budhe Saras, sapaan akrab Saraswati Soenindyo memulai pertunjukannya.
"Saya ingin suasananya tenang, lampu-lampu dimatikan, diganti lilin, cahaya temaram, ada sholawatan. Panggungnya adalah teras, dan ruang di dalam rumah itu laksana kamar atau ruang di dalam diri saya," ungkap Budhe Saras beberapa saat sebelum pertunjukan.
"Bismillahirrahmanirrahim." Begitulah ungkapan seorang Master Of Ceremony (MC) Kentrung Mbarang Jantur disambut teput tangan penonton. Seraya Budhe Saras keluar dari "kamarnya" menuju panggung.
Mengenakan celana batik, kemeja dan syal putih, seniman asal Madiun Jawa Timur yang telah menjadi Warga Negara Amerika Serikat itu menundukkan kepala, menyapa penonton.
Namun ternyata, Budhe Saras tidak langsung Mbarang. Para penonton, lebih dulu disuguhkan perform art oleh Ki Panggih Romo. Seniman asal Kota Salatiga ini membawakan lakon dengan apik berjudul berjudul Semar Mbarang Jantur
selama 15 menit. Semar sebagai tokoh kebijaksanaan masyarakat Jawa mewedarkan sejumlah petuahnya, tentang aku, hidup dan kehidupan.
Ujung perform art tersebut, disambut Budhe Saras yang mendendangkan lagunya berjudul Ya Salam, sebagai pembuka.
"Lagu ini lahir dari rasa kangen," ungkap seniman yang sudah 40 tahun tinggal di Seattle, Washington State, Amerika Serikat itu.
"Kangen saya kepada orang tua, kangen saya kepada para leluhur, kangen saya kepada tanah air, kangen saya kepada pohon-pohon, tanaman, hewan-hewan yang ada di Indonesia."
"Kangen saya kepada dulur-dulur saya di Suraukami, kepada Yai Guspar. Ya Salam, ini rasa kangen saya."
Pada jeda lagu-lagu atau terkadang saat menyanyikan lagu tertentu, wanita berambut putih itu, sesekali berhenti. Wajahnya ngungun, terkadang tersenyum tanpa berkata-kata.
Bunda Saras, sapaan lain Saraswati Soenindyo, selalu mengungkapkan rasa syukurnya. Sesekali beliau menceritakan bagaimana lagu-lagu tersebut tercipta.
Juga menguraikan makna-makna mendalam dari lagu-lagu yang dibawakan.
Istri dari John Thomas Brennan itu mengatakan, "Saya ndak berani kalau sampai saya ini merasa bahwa lagu-lagu ini adalah ciptaan saya."
"Saya hanya hantaran. Ada lagu yang saya ambil dari ajaran tokoh-tokoh sufi, ada yang dari penyanyi pop, yang menurut saya maknanya bagus, dan saya nyanyikan dengan gaya saya."
Setelah jeda beberapa menit untuk istirahat, Bunda Saras akhirnya memulai janturan berjudul, Perjalanan Setetes Air.
Suara khas Kentrung yang diberi nama Mbah Mukhlis itu menjadi irama perjalanan setetes air. Setetes air itu tidak lain adalah seorang hamba.
Tergambarkan bahwa setetes air itu berasal dari tempat yang tinggi dan indah. Kemudian turun untuk melewati berbagai laku kehidupan.
Layaknya mengarungi hidup bersama dengan aliran air di sungai. Sebagai diri, setetes air itu sebenarnya tidak pernah sendiri.
Meskipun acap kali ia juga merasa sendiri dan dilanda berbagai macam sepi. Hanya karena takaran nasib yang berbeda-beda, antara satu dengan yang lainnya. Hakikatnya tetaplah sama. Mereka tetap setetes air juga di hamparan dunia.
Setetes air itu juga digambarkan bertemu dengan banyak hal. Tercakup sekali mengalami benturan-benturan yang semakin lama semakin besar dan berat.
Namun betapa di dalam sebuah tetes air juga, ternyata telah terdesign sedemikian rupa.
Dan segala rupa, baik yang di luar maupun di dalam dirinya sejatinya adalah manifestasi anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setiap hamba adalah makhluk terbaik, dengan peranti sempurna. Sebab di dalam diri setiap hamba terdapat unsur Tuhan di dalamnya.
"Hanya untuk pergi untuk kemudian kembali."
Yang selalu membuat segalanya terasa berat, adalah keinginan hamba itu sendiri. Yang selalu ingin segera cepat, segera menjadi, segera sampai, segera mencapi apa saja yang menjadi keinginannya.
Padahal, setiap tahap kehidupan selalu ada ketetapannya. Selalu ada waktunya, selalu ada cara bagaimana melewatinya.
Sebagai seorang hamba, satu-satunya cara hanya kembali mengingat darimana asal usul dirinya. Karena pada awal bermul itulah, yang akan menjadi arah tujuan hidupnya.
Sehingga sekarang, saat ini dan di sini, adalah keseimbangan menepati laju waktu. Secepat apapun keinginan hamba mendahului waktu, atau selambat apapun yang dirasakan saat menempuh perjalanan. Semuanya tetap tak akan merubah tujuan. Karena semua perjalanan, akan sampai pada waktunya.
Maka begitulah setetes air yang selalu punya keyakinan kuat. Bahwa sesulit apapun, semenderita apapun, atau semudah apapun, sebahagia apapun. Semuanya adalah pilihan bagaimana menjalani kehidupan.
Setiap perjalanan pasti akan sampai kepada tujuannya. Berjalan saja. Itulah keyakinannya.
"Saya tidak akan menceritakan sampai akhir. Endingnya seperti apa monggo, saya kembalikan kepada panjenengan semua," kata Bunda Saras sebelum menutup cerita dengan lagu berjudul Dodoi Si Didoi karya Victor Hutabarat.
"Matur nuwun, kalau ada dari saya, yang jelek-jelek tolong disimpan saja, yang baik-baik tolong dikabarkan kepada yang lainnya. Matur nuwun, matur nuwun," pungkasnya disambut tepuk tangan penonton.
Merespon pertunjukan Kentrung Mbarang Jantur, Pengasuh Pesantren dan Rumah Kebudayaan Suraukami, Kyai Rahmat Agus mengatakan, perjalanan seorang hamba adalah perjalanan menuju samudera. Dan satu-satunya yang pantas dicintai di dunia ini hanyalah Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga, lanjutnya, kita tidak bisa berbangga diri saat merasa sudah bisa mencintai Rasul Muhammad.
"Karena sebenarnya, beliau sudah mencintai kita lebih dahulu sebelum kita mencintainya. Cinta kita kepada Rasulullah hanyalah akibat dari cinta beliau kepada kita," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Pesantren Kasepuham Magersaren, Kyai Azwar Anas, juga sempat membawakan tembang Pangkur, sebelum memimpin doa. Lantunan lagu-lagu sholawat kembali dibawakan oleh Grup Hadroh Al Guys sebagai penutup acara.
Lilstoples
Rabu, 16 Maret 2023
Komentar
Posting Komentar