Ngaji Rock Padang Bulan
Muncul pertanyaan menarik saat Ngaji Rock Padang Bulan, di Pesantren dan Rumah Kebudayaan Suraukami edisi September 2024.
"Apa yang datang dan dilupakan?". Meski sejumlah ungkapan dilontarkan dengan berbagai alasan, namun saya cenderung kepada Handy Hadi Wikarta, musisi instrumental solo gitar, yang menjadi guest star malam itu.
Dalam sesi diskusi, Handy mengungkapkan bahwa setiap Rocker pasti belajar bahkan sangat keras untuk menguasai teknik musiknya. Maka, "Apa yang datang dan dilupakan?" bagi musisi adalah teknik permainan musik itu sendiri. Sehingga, kata Handy, musisi bukan memainkan nada melainkan menikmati nada yang dimainkannya.
Rencananya, catatan ini akan saya beri judul "Nandur Rock, Panen Rembulan".
Dengan segala keterbatasan "ngelmu" saya tentang musik. Begitu mendengar kata rock, di benak saya seperti "mak bedunduk", tiba-tiba tersedia sebuah pertunjukan grup musik di atas panggung bernuansa hitam di hadapan ribuan penonton. Mata saya layaknya kamera terbang. Melihat dari atas, turun ke panggung, menghampiri penonton, hingga jelas wajah-wajah berisi semangat, penuh ekspresi, gerakan dan hentakan. Juga distorsi hening, bising, teriakan parau, yang retak dan yang berkeringat.
Namun saat kata Rock didahului dengan kata "Ngaji", segala suasana itu luruh.
Seperti masih berada di dalam riuhnya konser namun segala gerak yang terlihat menjadi lambat. Pelan, volume suaranya juga hampir tak terdengar. Lirih, segala rasa yang semula lekat-kuat perlahan hambar, tak berasa.
Ngaji, menjadikan musik rock tak lagi dinikmati lewat pengaruh kelakuan, praktis saja, melainkan juga dimensi pengertiannya. Semacam cara untuk melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar, bahkan merasakan yang tak terjelaskan oleh definisi kata-kata. Sebab Ngaji adalah kepatuhan untuk menjumpai, apa yang ada di balik segala yang tampak, yang terdengar dan yang berasa.
Selepas Ngaji Rock terbaca, ternyata masih ada kata "Padang Bulan"-nya. Penentuan judul tentu tak sesederhana menyelipkan umpatan, umpama saat kita sedang tertekan, hilang akal atau patah arang. Segala judul, nama, kata, huruf, ungkapan, yang ditulis atau diucapkan adalah bentuk perbuatan. Batas minimal sesuatu disebut sebagai perbuatan/tindakan/amalan adalah ketika bisa dibaca atau didengarkan.
Oleh karena itu, setiap perbuatan selalu disertai dengan konsekuensinya. Sebagaimana setiap sebab yang mengandung dampak, akibat. Maka "ora wangun" jika suatu perbuatan tidak disiapkan dengan perilaku "tenanan". Karena sebuah perbuatan memiliki nilai yang sama dengan sebutir biji tanduran (tanaman). Sebagaimana ungkapan, "Sopo sing nandur bakale ngundhuh" (Siapa yang menanam, dialah yang akan menuai hasil). Baik pasti baik, buruk pasti buruk.
Kembali ke "Padang Bulan" yang menjadi kesatuan untuk judul Ngaji Rock. Jika tanpa kata Rock, tentu judul Ngaji Padang Bulan sudah membawa kesan lembut, magis, kontemplatif. "Padang Bulan" sendiri sudah terasa sah, jika untuk melingkupi suasana benderang, terbuka dan luas tanpa menghilangkan keberadaan sesuatu yang samar, gelap, bahkan tersembunyi.
Dengan adanya kata Ngaji, suasana itu terasa lebih adil, aktif dan riil. Sehingga perjumpaan di dalam Ngaji, bukan sekadar aktif untuk mengiyakan apa-apa yang menjadi terbuka atau masih tersembunyi. Melainkan juga harus riil, keberanian untuk mentidakkan keduanya. Sebab ranah "ngerti" membutuhkan "praktisi" supaya aktual.
Bulan sendiri, meski bersinar terang (padang), namun tidak silau saat langsung dipandang mata. Sehingga bisa terus diamati, dibaca ke manapun perginya. Namun yang memandang juga harus "ngeh", bahwa bulan selalu dalam kondisi purnama. Tampak sabit, separuh atau gerhana hanya perkara letak darimana memandangnya. Tercakup sekali bahwa bulan tidak bisa bersinar sendiri, sebab cahayanya berasal dari sinar matahari. Padang dari cahaya bulan, juga hanya menerangi separuh bumi. Sisi di balik yang padang oleh bulan itu, justru lebih benderang karena langsung disinari matahari.
Kembali lagi. Diletakkannya kata Rock di antara "Ngaji" dan "Padang Bulan", menurut saya, lebih terasa seperti penakhlukan yang dilakukan tanpa perang. Judul "Ngaji Rock Padang Bulan"-pun, menjadi semacam tekad yang tak berisi pamrih, melainkan cinta dan kasih. Dimana Rock (musik, penggemar, rocker, identitas, perasaan, pikiran, perilaku dan sistem atau jiwa), tetap menjadi Rock walaupun digenggam oleh Ngaji dan Padang Bulan.
Sehingga sekeras-kerasnya "Rock", mereka hanya akan menjadi tahu diri. Mereka tahu bahwa kemampuan menahan, menjaga, mengikat adalah cara menjadi Rock itu sendiri. Tahu bahwa, walaupun di dalam diri penuh dengan distorsi, namun akan lebih cenderung rendah hati. Sebab dia tahu (terbiasa mengulik) sesuatu yang asli.
Dia juga tahu bahwa menjalani kehidupan hanyalah perkara kesiapan menghadapi kefasikan, noise dan distorsi dari lingkungan. Sehingga "setiap rock" akan tetap murah hati, jujur menyiapkan diri, ibarat tanaman yang khusyu menguatkan akar. Akan kembali tumbuh meski patah, roboh atau tumbang.
Tapi saya sering juga salah. Rencananya, catatan ini akan saya beri judul Nandur Rock, Panen Rembulan. Selamat mendengarkan.
Musik rock, selalu mengandung tiga hal; ke-jelas-an, ke-hitam-an dan ke-asli-an. Jelas itu jujur, murah hati, tidak mbulet. Hitam itu utuh, tak goyah, tidak dok nyeng. Asli itu murni, tulen, tidak oplosan. Dalam konteks Ngaji, tiga bekal sederhana itu saya gunakan sebagai cara untuk membaca. Sehingga Rock, muncul sebagai daya untuk merengkuh sesuatu dalam rangka ketaatan.
Kerelaan merengkuh sesuatu dalam rangka taat, sepertinya hanya bermuara pada kebijaksanaan yang disebut sabar. Hemat saya, Rock adalah batu yang keras, dan sabar itu ibarat batu yang keras pula. Maka Rocker adalah setiap manusia yang memiliki sistem kesabaran (Jiwa Rock) di dalam dirinya. Jiwa Rock itu, sebagaimana batu yang bisa terbentuk dari tiga proses. Yaitu pemadatan (Kristalisasi), pengendapan (Sedimentasi), atau benturan yang menghasilkan perubahan bentuk (Metamorfis).
Kenapa harus ada sistem kesabaran (Jiwa Rock), untuk merengkuh sesuatu dalam rangka ketaatan dalam diri setiap manusia (rocker). Sepertinya, manusia adalah makhluk yang penuh retakan. Sehingga "kudu" direngkuh supaya utuh. Tidak berai, pecah-terpisah. Linglung.
Retak artinya ada celah. Ada bagian yang terbuka pada satu bangunan yang utuh. Sebagaimana pintu pada rumah, goa pada bukit atau gunung, Retak artinya ada jalan. Seperti hubuk, tiang-tiang langit atau orbit para planet. Serupa tali atau benang pada sulaman rajut, renda atau tenun. Retak juga beraroma, ada yang sama-sama pergi tanpa saling meninggalkan. Sebagaimana nuansa rindu saat sedang berdekatan.
Pada teks kuno juga dijelaskan, tentang lapisan- lapisan cahaya. Tahap, tingkatan, etape, level, yang menjadi ruang tumbuh setiap entitas kehidupan dan pengetahuan. Semua lapisan itu merupakan kesatuan utuh. Sehingga setiap lapisan tidak bisa disebut lapisan jika tidak ada batas di antaranya. Batas itulah yang disebut sebagai retak-an.
Retakan adalah jalan yang memungkinkan adanya konsep menerima dan memroduksi sesuatu. Kita tidak mungkin mengerti, jika tidak ada jalan untuk pengetahuan atau asupan makanan masuk ke dalam diri. Juga aktualisasi "asupan" menjadi perilaku atau tumbuhkembang.
Segala sesuatu tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada yang retak pada dirinya. Sebatang pohon adalah retakan yang ada pada tanah. Akarnya juga punya retakan bernama pembuluh xilem, menjadi jalan bagi air dan garam mineral menuju daun. Daunnya juga retak di jaringan epidermis yang bernama stomata (mulut daun). Di sanalah tempat pertukaran udara, diteruskan dengan fotosintesis yang hasilnya disalurkan oleh retakan (pembuluh) floem dari daun ke seluruh tubuh tumbuhan.
Retak, menjadikan setiap manusia bisa menjumpai apa yang terjadi di dalam diri, juga dengan apa yang terjadi di luar dirinya. Sebab retak, Tuhan bisa menghembuskan urusannya ke dalam tubuh manusia. Sebab retak, manusia bisa menghirup dan menghembuskan udara.
Sebab retak, manusia bisa mengerti bahwa pada retakan itulah terjadi lalulintas perjalanan nutrisi. Sebab retak, manusia bisa mengerti bahwa retakan itu adalah jalanan yang saling terhubung. Sebab retak, manusia bisa mengerti bahwa retakan, pasti hanyalah bagian yang sangat kecil dari sebuah tubuh yang seluruh.
Sebab retak, manusia bisa mengerti bahwa sebenarnya, dirinya adalah retakan di dalam lingkungannya. Dirinya hanya bagian dari sebuah retakan kecil bernama bumi. Sedangkan bumi juga retakan kecil pada sebuah tubuh utuh yang dikenal dengan sebutan alam semesta.
Sebab retak, manusia juga bisa menyadari bahwa dirinya hanya sedang menjalani hidup di part ke tiga (setelah alam ruh dan rahim), bagian dari sebuah instrumental utuh berjudul kehidupan. Retakan tipis itu bernama dunia, setipis antara, senyum dan bibir ibu yang melahirkannya.
Menjadi manusia adalah bagaimana menjadi utuh yang retak, bukan utuh yang masif. Manusia yang menyadari bahwa dirinya tersusun dari retakan-retakan terengkuh, ialah manusia yang utuh.
Maka peranti hidup berupa daya rengkuh atau Jiwa Rock itu, sebenarnya merupakan bagian (sudah tersedia) dari diri manusia. Sebab sistem kesabaran (Jiwa Rock) itu merupakan "kek-kek-an" dari Yang Maha Sabar. Sehingga tugas manusia hanya menjaga "Sistem Rock" sebagai bentuk ketaatannya. Untuk nge-Rock (menghadapi) dirinya sendiri dan nge-Rock (mengurusi) lingkungannya.
Maka judul "Nandur Rock, Panen Rembulan" tidak jadi saya gunakan. Sebab, Nandur itu berarti menanam dan rencana tanamannya (tandure/tandurane) adalah Rock atau Kesabaran. Ternyata sistem sabar itu pemberian. Sudah ada, tertanam, menjadi tanduran di dalam diri manusia. Dan tugas manusia hanya menjaga.
Jadi, sebenarnya hanya tukang jaga tanduran, bukan pemilik atau yang nandur (menanam). Penjaga tidak mungkin "Nge-Hak-i" atas apa yang dia jaga sendiri. Karena tidak jadi "Nandur" (menanam tanaman), "Rock" (Kesabaran), maka "Panen" (maksud menuai hasil), "Rembulan" (ilmu pengetahuan)", juga tidak bisa didapatkan.
Sebagai penutup, judul saya ganti total. Sekarang tidak ada lagi maksud atau kesengajaan, baik untuk menanam (nandur) sesuatu atau menuai suatu hasil (panen) di kemudian. Melainkan harus kembali kepada tanaman yang seharusnya dijaga. Kembali menjumpai, bagaimana kondisi tanduran/tandure yang telah Tuhan anugerahkan. Retandure.
Gandrungsastra, 30092024
Komentar
Posting Komentar